Dibuat Oleh : Naufal Abda Aizar
BAB I
A. Latar Belakang
Keberadaan kesenian
tradisional seringkali disikapi sebagai identitas budaya sekaligus keunikan
lokal suatu masyarakat. Akan tetapi, di era modern seperti sekarang ini
kesenian tradisional sering dianggap kurang sejalan dengan perkembangan zaman
B. Rumusan Masalah
a. Apa makna arti
jathilan?
b. Apa faktor pendukung dan penghambat kebudayaan?
c. Bagaimana dinamika kebudayaannya?
d. Mengapa perlu dilestarikan?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini merupakan bagian dari UTS berbentuk Proyek Penugasan
Individu Mata Kuliah (PPI-MK) dari mata kuliah Budaya Nusantara dan
Pengembangan Kepribadian. Tujuan lain dari pembuatan makalah ini adalah untuk
menambah wawasan tentang tradisi jathilan di daerah penulis, yaitu Kabupaten
Magelang. Selain itu, saya akan mencoba memberikan beberapa penjelasan dan urgensi menjaga kelestarain budaya
jathilan berdasarkan sumber-sumber yang sudah saya ketahui.
BAB II
A. Pengertian Jathilan
Menurut Slamet, Asal-usul dari kata Jathilan berakar dari kata “jan”
yang berarti amat dan “thil-thilan” yang berarti banyak gerak, yang kemudian dihubungkan
dengan geraknya amat banyak seperti larinya kuda yang jejondilan. Jathilan,
atau pada umumnya lebih dikenal dengan sebutan Jaran Kepang/Kuda lumping
merupakan sebuah kesenian yang menyatukan antara unsur
gerakan tari dengan kekuatan magis. Kesenian ini dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan yang
terbuat dari anyaman bambu atau kepang
B. Faktor Pendukung dan Penghambat
Ada beberapa faktor yang menjadikan seni jathilan seperti saat ini. Faktor-faktor
tersebut berupa faktor penghampat dan juga faktor pendukung. Apabila ditelaah
lebih jauh, kedua faktor tersebut memeliki faktor internal dan eksternal masing
masing. Semua faktor akan mempengaruhi bagaimana keadaan jathilan dimasa
mendatang, akankah tetap lestari atau malah hilang ditelan zaman
1. Faktor Pendukung
Internal :
Adanya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebudayaan lokal yang ada di
lingkungannya. Biasanya ada semacam organisasi pengelola budaya jathilan yang
terdapat pengurus dan anggotanya. Selanjutnya yaitu adanya sumberdaya manusia
yang tertaik untuk mengelola organisasi tersebut dan dikembangkan sebagai
produk hiburan.
Eksternal :
Dukungan pemerintah berupa kebijakan
yang dibuat untuk keperluan promosi pariwisata daerah. Salah satunya dengan
rutin menyelanggarakan festival budaya, hal ini sedikit banyak berpengaruh
terhadap kesenian jathilan.
2. Faktor Penghambat
Internal :
Lemahnya pengetahuan masyarakat
tentang potensi yang dihasilkan dari pelestarian budaya di era modern ini.
Kurangnya apresiasi kepada seniman tari jathilan entah dari segi finansial
ataupun apresiasi langsung, karena jika hanya mengandalkan pendapatan menjadi
pemain Jathilan saja dinilai belom bisa memenuhi kebutuhan. Selain itu fasilitas
yang kurang memadai juga berpengaruh; mengingat peralatan musik yang dibutuhkan
terbilang banyak; seperti kendang, kenong, kempul, gong, dan gamelan lain.
Eksternal :
Kurangnya promosi dari pemerintah,
meskipun pemerintah sudah melakukan promosi wisata, bisa dibilang promosi
budaya yang dilakukan masih kurang gencar dilakukan. Kemudian masuknya
alternative hiburan baru perlahan menggeser eksistensi jathilan sebagai hiburan
murah. Masyarakat sekitar lebih memilih hiburan yang sedang trending dilingkungannya.
C. Dinamika Kebudayaan Jathilan
Seni jathilan merupakan salah satu jenis kesenian yang hidup dan
berkembang pada masyarakat pedesaan. Kesenian jathilan memiliki sifat mudah dikenal
dan memasyarakat, maka di pedesaan jenis
kesenian ini lebih akrab disebut sebagai seni kerakyatan. Jathilan dalam
perjalanannya mengalami berbagai macam pengembangan, baik secara teknik penyajian, fungsi, maupun
latar belakang cerita yang dipakai. Perkembangan kesenian jathilan saat ini
terjadi karena perkembangan pola pemikiran
masyarakat pendukungnya.
Pada awal sebelum masuk ke Daerah
istimewa Yogyakarta, jathilan merupakan bagian dari kesenian Reyog yang ada di
Ponorogo. Dalam Reyog terdapat adegan
jathil, yang isinya penari putri naik kuda. Dari sinilah diambil dan
dikembangkan masuk ke jawa tengah menjadi seni menunggang kuda yang disebut
dengan jathilan.
Namun, saat ini keberadaan jathilan
tidak hanya sebagai sarana ritual saja. Perkembangan kesenian jathilan terjadi
seiring dengan bergulirnya era industri
pariwisata yang ditandai dengan pencanangan program pariwisata oleh
pemerintah. Presiden Soeharto ketika itu
menekankan perlunya memprioritaskan
sektor non-migas untuk peningkatan devisa negara. Pernyataan ini disampaikan
pada pembukaan rapat kerja Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi 26 September 1986
Globalisasi mempengaruhi fungsi dan nilai dari jathilan, baik berupa
sajian ataupun fungsinya. Saat ini jathilan sering dikolaborasikan dengan
pertunjukan seni yang lain, alat pengiring musiknya pun sudah menggunakan
peralatan modern. Pengaruh lain disebabkan karena telah adanya akulturasi
budaya yang menimbulkan benturan antara budaya modern yang kapitalistik dengan
budaya tradisional. Budaya tradisional dalam konteks ini adalah kesenian
jatahilan, dan budaya kapitalistik adalah budaya yang berorientasi untuk
mencari keuntungan, seperti halnya program pariwisata. Pengaruh ini tentu saja
akan berdampak pada citarasa kesenian jathilan yang menjadi bervariasi
D. Perlunya Pelestarian Kesenian Jathilan
Jathilan perlu dilestarikan karena merupakan warisan budaya yang sudah seharusnya
kita jaga. Tentu kita tidak mau jika budaya kita diklaim sebagai milik Negara
asing. Menjaga keutuhan budaya merupakan tanggung jawab bagi generasi penerus,
yang mana budaya tersebut merupakan suatu identitas dari masyarakatnya. Selain
itu, kesenian jathilan juga berpotensi sebagai daya tarik wisatawan sehingga
dapat memutar roda perekonomian masyarakat. Tidak hanya itu ,budaya bisa juga
berfungsi sebagai sumber perkembangan pendidikan. Mengingat kesenian jathilan
sudah jarang ditampilkan di perkampungan masyarakan harus paham akan ancaman
ini.
BAB III
A. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, kesenian jathilan sudah berkembang dari
masa ke masa; fungsi, tujuan ,dan penyajiannya pun berkembang mengikuti arus
modernisasi. Adanya faktor faktor pendukung dan penghambat sedikit banyak
mempengaruhi keberadaan jathilan saat ini. Dinamika lingkungan sekitar juga
berpengaruh terhadap kebudayaan jathilan sehingga membawa beberapa perubahan
dalam penyajian serta fungsinya. Dari awalnya hanya untuk keperluan ritual kini
berevolusi menjadi penggerak roda perekonomian. Namun akhir akhir ini, kesenian
jathilan perlahan mulai terlupakan dan tergantikan oleh alternative hiburan
lain. Maka dari itu diharapkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan
melestarikan kesenian jathilan.
2. Saran
Untuk mendukung kesenian jathilan
yang lebih maju berikut ini beberapa saran dari penulis. Saran ini diambil dari
beberapa faktor penghambat yang kemudian di oalh menjadi sebuah saran sebagai
berikut :
a)
Mengedukasi
masyarakat tentang betapa besarnya potensi budaya
b)
Memberikan
apresiasi kepada para seniman jathilan entah berupa materi atau dukungan moral.
c)
Meminta
dukungan dari pemerintah berupa dukungan finansial dan fasilitas.
d)
Bekerja
sama dengan agen tour travel untuk mempromosikan kesenian
jathilan.
e)
Membuat event tahunan atau bulanan untuk
mempromosikan kesenian.
f)
Mengolaborasikan
antara kesenian jathilan dengan selera hiburan masyarakan yang sedang trending.
DAFTAR PUSTAKA
Indriyanto, Widya Susanti. 2015. NILAI
ESTETIS PERTUNJUKANTRADISIONAL JATHILAN TUODI DESA KABUPATEN MAGELANG.
Irianto, Agus Maladi. 2015. MENGEMAS
KESENIAN TRADISIONAL DALAM BENTUK INDUSTRI KREATIF:Studi Kasus Kesenian
Jathilan 66.
Kuswarsantyo. 2014. The Jathilan in Time
and Space Dimension.
Pigeaud. 1938 . Javaanse Volksvertoningen
. Batavia.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni
Pertunjukan. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Slamet, (dari jurnal Widya Susanti
Indriyanto). 2015. NILAI ESTETIS PERTUNJUKANTRADISIONAL JATHILAN TUODI
DESA KABUPATEN MAGELANG 6.
Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan
Indonesia dan Pariwisata. Bandung: MSPI.
Soemardjan, S. 1981. Kesenian dalam
19-26.
Timbul Haryono, R.M Soedarsono, dan
Kuswarsantyo. 2010. “Perkembangan Penyajian Jathilan di Daerah Istimewa
Yogyakarta.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar